Minggu, 25 Desember 2011

Pasar Tradisonal Kian Menghilang




Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli. Transaksi yang dilakukan didasarkan pada kesepakatan antara penjual dan pembeli dengan adanya interaksi tawar menawar. Pasar yang sesuai dengan pengertian di atas hanya di dapat di pasar tradisional. Saat ini keberadaan pasar tradisional semakin tergerus dengan munculnya pasar-pasar modern yang saat ini menjamur di kota-kota besar di Indonesia, tak terkecuali di Kota Bertuah ini. Keberadaan pasar tradisional kalh saing dengan pasar modern yang berdiri megah. Dalam 10 tahun terakhir telah berdiri megah beberapa pasar modern di lahan yang sebelumnya merupakan pasar tradisional seperti Pasar Sukaramai dengan adanya Ramayana, pasar senapelan, dan beberapa Mall yang ada di Pekanbaru ini.
            Saat ini yang sedang proses pembangunan adalah pasar cik puan yang merupakan pasar tradisional yang telah lama keberadaannya di Pekanbaru. Kebakaran hebat yang terjadi pada Sabtu (17/12) malam sekitar pukul 19.30 WIB yang menghanguskan lebih kurang 520 kios di pasar tradissional ini mengakibtkan kerugian mencapai Rp 10 miliar lebih. Kebakaran ini bukan yang pertama kalinya terjadi di pasar tradisional Cik puan ini. kebakaran yang terjadi kali ini merupakan kejadian yang kedelapan kalinya sejak berdirinya pasar tradisonal ini. Kejadian terakhir terjadi pada tahun 2009 silam. Yang mana lahan bekas kebakaran tersebut saat ini sedang proses pembangunan.
            Pasar tradisional Cik Puan ini merupakan pasar tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. Akan tetapi, tampaknya akan tergusur kembali dengan didirikannya bangunan pasar yang sedikit lebih modern. Kebakaran yang terjadi sabtu malam itu sangat disayangkan oleh para pedagang. Hal ini dikarenakan lambannya pemadam kebakaran datang ke lokasi. Sebenarnya, sejak 2004 silam telah ada usulan agar adanya pemadam kebakaran di pasar tradisional ini. Akan tetapi hingga saat ini tidak ada realisasinya dari pemerintah. Seperti yang dikatakan Agusman Ketua APSSI, rata-rata penyebab kebakaran yang terjadi di pasar tradisonal ini dikarenakan arus pendek listrik. Akan tetapi hal itu dapat saja hanya sebatas alasan agar dapat diterima oleh masyarakat umum. Kebakaran yang telah berulang kali terjadi ini dapat saja dikarenakan unsur kesengajaan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan keberadaan pasar tradisional yang identik dengan kawasan kumuh dan tidak tertib. Dapat di lihat dari kejadian kebakaran pada 2009 silam yang saat ini telah berdiri bangunan semi modern yang akan menggantikan bangunan sebelumnya.
            Dan kejadian kebakaran yang terjadi baru-baru ini sungguh menyakitkan pedagang. Pemerintah Kota Pekanbaru telah membuat keputusan yang menyatakan seluruh pembiayaan yang ditimbulkan dalam pembangunan kios pasca kebakaran sepenuhnya ditanggung oleh pedagang sendiri. Dan juga tampak gelagat pemerintah untuk membatasi areal pembangunan kios yang baru bagi pedagang dengan menunggu izin dari Polresta Pekanbaru. Dan juga pembangunan dilakukan setelah Polresta Pekanbaru melakukan penyidikan dan memetakan tempat-tempat yang diperbolehkan pembangunan kios baru.
            Sikap dan keputusan pemerintah ini tidak berpihak kepada pedagang. Tampak disini usaha pemerintah untuk merubah pasar tradisional ini menjadi pasar modern yang sangat merugikan pedagang-pedagang kecil. Keberadaan pasar tradisonal akan semakin hilang dengan usaha-usaha pemerintah merubah pasar-pasar tradisional menjadi pasar modern. Dan cara-cara yang digunakan juga tidak berprikemanusiaan dengan delik terjadinya arus pendek listrik dan terjadi kebakaran hebat yang meratakan bangunan kios-kios yang rata-rata berbahan kayu. Sungguh sedih nasibmu pasar tradisonal. Hilang seiring perkembangan zaman.


Oleh: Al Razi Izzatul Yazid
Menteri Sekretaris Kabinet BEM UNRI

Minggu, 18 Desember 2011

Birokrasi Buruk


Korupsi tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Tindakan yang sangat merugikan negara ini tidak dapat dibendung lagi. Saat ini praktek korupsi telah merajalela dan membudaya dalam kehidupan berbangsa dalam segala aspek. Maraknya korupsi yang kini terjadi adalah fenomena bubble corruption (korupsi yang menggelembung). Praktek korupsi tidak hanya terjadi di kalangan elit politik saja, akan tetapi telah dilakukan oleh penegak hukum di negeri ini bahkan saat ini sudah merambah ke ranah PNS.
            Baru-baru ini kita dikejutkan dengan temuan “rekening gendut” PNS Muda oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK menemukan adanya uang miliaran rupiah dalam rekening PNS yang masih berusia muda (kurang dari 30 tahun) yang diduga hasil korupsi. Hasil penelusuran PPATK menunjukkan bahwa PNS muda pemilik rekening gendut tersebut melibatkan semua anggota keluarganya. Seperti diberitakan, sebulan terakhir sedikitnya 10 PNS berusia muda terlacak memiliki dana di rekening mereka melebihi pendapatan resmi. Bahkan, ada dua PNS golongan IIIB yang diduga menilap uang negara miliaran rupiah dari proyek fiktif. Keduanya mentransfer uang ke rekening istri. Istri mereka aktif mencuci uang yang diduga hasil korupsi itu dengan membeli valuta asing, emas, dan asuransi. Menurut pemikiran yang rasional memang tidak memungkinkan seorang PNS muda yang umumnya golongan IIIB hingga IVA dan masa kerja yang singkat memperoleh penghasilan miliaran rupiah.
            Temuan PPATK mengenai kasus pegawai negeri sipil berusia muda dengan rekening miliaran rupiah yang diduga dari hasil korupsi merupakan tamparan bagi pemerintah. Rekening miliaran rupiah PNS tersebut mencerminkan bobroknya birokrasi dalam pemerintahaan saat ini. hal ini merupakan tamparan bagi pemerintah karena menunjukkan sistem birokrasi di Indonesia ini sangat buruk. Persoalan rekening gendut itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena selama ini birokrasi selalu diidentikan dengan korupsi. Dari hasil riset ICW, kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan kepada Kompas.com, Jumat (9/12/2011), di Jakarta, birokrasi hanya dijadikan mesin untuk melegalkan praktik-praktik korupsi.
Kita lihat saja dalam kasus Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Wisma Atlet, deal-deal praktik korupsi pasti bermula dari unsur birokrasi bawah dulu baru ke tingkat atasnya. Dan ini mungkin saja berlaku pada PNS muda yang memiliki rekening gendut ini. Ditambahkan, kasus tersebut juga menunjukan bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah tidak berjalan dengan baik. Reformasi selama ini hanya berkutat pada masalah-masalah teknis dan belum belum menyentuh kepada masalah subtansial tersebut. Belum dapat memutuskan mata rantai korupsi para birokrat.
Rekening gendut PNS Muda ini dikarenakan sistem yang membuat para PNS yang masih muda pun sudah melakukan korupsi. Seharusnya justru mata rantai korupsi diputus pada para PNS muda ini, namun indikasinya mereka diduga malah ikut terlibat. Anak muda harusnya bersih dari tindak pidana korupsi. Hal ini harus dibenahi dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk serius membenahi birokrat dan memutus mata rantai korupsi.

Oleh: Al Razi Izzatul Yazid
Menteri Sekretaris Kabinet BEM UNRI
Di  Terbitkan Di Kolom  Youngster Tribune Pekanbaru ,  Edisi Minggu,  18 Desember 2011

Minggu, 04 Desember 2011

Politik Pencitraan




 Fenomena baliho sudah menjadi tradisi di negeri ini. Pemasangan baliho di tepi jalan atau tempat keramaian dijadikan cara ampuh bagi pemerintah untuk media sosialisasi program-program yang dilaksanakan, bahkan dalam rangkaian pemilukada pasangan calon berlomba-lomba mensosialisasikan diri dengan berbagai gaya foto yang ditampilkan untuk menarik simpati masyarakat. Akan tetapi, saat ini baliho yang banyak tersebar disetiap sudut kota tidak efisisen. Hal ini dikarenakan isi dari baliho dikalahkan dengan adanya foto/gambar pemimpin daerah yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan pesan yang disampaikan. Seharusnya, baliho yang bertujuan untuk mensosialisasikan program-program kerja lebih mengedepankan pesan yang disampaikan daripada unsur foto pemimpin daerah.
            Beberapa hari ini, kita melihat di media massa memberitakan perseteruan antara Pj Walikota dengan Kadisdukcapil Kota Pekanbaru. Hal ini terkait dengan penurunan paksa baliho e-KTP yang dipasang Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil Kota Pekanbaru di setiap kantor Kecamatan oleh Satpol PP atas perintah Pj Walikota. Mendengar alasan Pj Walikota Pekanbaru yang memerintahkan untuk melakukan pencopotan yang dikarenakan adanya foto Kadisdukcapil bukannya foto Pj Walikota dan Gubernur Riau di baliho merupakan alasan yang tidak berlandaskan hukum. Lebih kepada berdasarkan logika dan sikap otoriter Pj Walikota. Jika kita menilik dari program e-KTP yang merupakan program nasional dan dijalankan oleh disdukcapil tidak ada salahnya dalam hal foto yang ditampilkan merupakan kepala dinasnya. Ada apa dibalik kejadian ini???
            Sangat disayangkan dengan adanya pencopotan baliho e-KTP secara paksa oleh satpol PP. Bahkan sampai terjadi adu jotos antara kadisdukcapil dengan Satpol PP karena masalah baliho. Baliho yang telah terpasang tersebut menggunakan anggaran APBD Kota Pekanbaru, hal ini telah menghambur-hamburkan APBD yang dikarenakan alasan politis. Keberadaan baliho yang bertujuan sosialisasi sekarang sudah jauh dari tujuan awalnya dan telah disalahgunakan oleh pejabat-pejabat di Provinsi Riau. Saat ini baliho lebih digunakan untuk politik pencitraan oleh pemimpin-peminpin daerah. Substansi dari baliho tidak tersampaikan dikarenakan gambar-gambar pemimpin daerah lebih dominan daripada pesan yang disampaikannya. Dan melihat kejadian pencopotan baliho secara paksa lebih kepada kecemburuan dari Pj Walikota yang seharusnya dapat mencitrakan dirinya melalui baliho, namun digunakan oleh Kadisdukcapil Kota Pekanbaru.


Oleh: Al Razi Izzatul Yazid
Menteri Sekretaris Kabinet BEM UNRI
Di  Terbitkan Di Kolom  Youngster Tribune Pekanbaru ,  Edisi Minggu,  04 Desember 2011