Jumat, 28 Juni 2013

BUNG HATTA’S WORDS WISDOM (PART 1)



“Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi dari suatu negara asing”.
“We would rather see Indonesia sink to the bottom of the sea, than suffer it to be an eternal appendix of some other foreign nation”.
(Mohammad Hatta, Pidato Pembelaan di muka Pengadilan Belanda di Den Haag, Maret 1928)

“Yang berdaulat di dalam negara nasional ini bukanlah orang asing, negara asing, atau pemimpin asing”.
“Those who have sovereignty in this national state are neither foreigners, foreign nation, nor foreign leaders”.
(Mohammad Hatta, Pidato pada rapat umum di Kabanjahe, 22 November 1950)

“...kaum intelegensia Indonesia mempunyai tanggung jawab moril terhadap perkembangan masyarakat. Apakah ia duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia tidak akan terlepas dari tanggung jawab itu”.
“...Indonesian intellectuals bear moral responsibility to social development. Whether or not they have positions as neither state officials or social leaders, they can never escape from that responsibility”.
(Mohammad Hatta, Tanggung Jawab Moril Kaum Intelegensia, 1966)

“Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsyafan...”
“Democracy can be oppressed temporarily due to its own mistake, but soon after it has experienced a bitter trial, it will re-emerge with full consciousness...”
(Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, 1960)

“...Angkatan muda Indonesia sekarang mempunyai tugas untuk menjaga supaya keutuhan persatuan Indonesia itu terus kuat, seperti karang yang terpancang di tengah-tengah lautan, tidak terusik oleh gelombang dan angin badai”.
“...The present Indonesian generation has a duty to preserve and guard Indonesian Unity to remain intact and strong. Like a rock in the middle of the sea, which does breaking waves and stormy winds not effect”.
(Mohammad Hatta,Pidato Dies Natalies IX Unsyiah Banda Aceh, 2 September 1970)

“Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya itu tergantung kepada semangat rakyat”.
“Together with the people we achieve glory, and with the people we go down. The greatness of the downfall of Free Indonesia depends on the people on the people’s spirit”.

(Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, 1932)

YAZID BIN MUSRSYID: Air Matanya Tak Pernah Kering





            Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata, “Aku bertanya kepada Yazid bin Mursyid, ‘Mengapa aku tidak pernah melihat air matamu kering dari kedua matamu? Mengapa kamus selalu menangis?’
            Dia balik bertanya, ‘Mengapa pula kamu bertanya seperti itu?’
            Aku jawab, ‘Semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan pertanyaan itu’.
            Dia berkata, ‘Demikianlah, sebagaimana kamu lihat sendiri!’
            Aku bertanya, ‘Apakah kamu menangis juga saat kamu sendiri?’
            Dia menjawab, ‘Demi Allah seperti itulah yang aku alami. Seringkali makanan telah terhidang dihadapanku, tiba-tiba saya tidak berselera. Bahkan, air mataku pun mengalir pada saat aku mendekati istriku, yang membuat aku menjauhinya. Sampai-sampai pernah istriku menangis, terlebih lagi anak-anakku. Hanya saja mereka tidak mengetahui, apa yang menyebabkan kami semua menangis. Bahkan suatu ketika istriku berkata, Celaka kamu, apa-apaan ini? Penderitaan macam apa yang akan engkau timpakan padaku sebagai seorang wanita muslimah? Percuma hidup bersama kamu! Selama ini, aku tidak pernah bahagia sebagaimana yang dirasakan wanita-wanita yang bersuami!’
            Aku bertanya, ‘Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?’
            Dia menjawab, ‘Ketahuilah saudaraku, Demi Allah, selama ini Allah SWT tidak pernah berjanji kepadaku, bahwa sekiranya aku berbuat maksiat kepadaNya maka tidak ada pilihan selain aku dikunci di dalam kamar mandi yang tentu membuatku menangis tersedu-sedu. Bagaimanakah pula menurut pendapatmu, jika Allah menjanjikan bahwa aku akan dipenjarakan di dalam api neraka? Tidak sekedar disekap di dalam kamar mandi.



(99 Kisah Orang Shalih, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab)

Selasa, 11 Juni 2013

Hiburan Edukatif: Layangan dari kita, oleh Kita dan untuk Kita




            Berbicara tentang anak sebenarnya bukanlah hal yang aneh, anak-anak adalah individu yang biasa (sering) ditemui dalam kehidupan kita sehari-hari. Apabila kita dihadapkan kepada pertanyaan tentang “Siapakah anak?”, tentu pertanyaan ini akan mengundang sejumlah jawaban dari yang sederhana sampai jawaban yang menuntut renungan yang lebih mendalam. Berbagai jawaban tersebut dapat diajukan misalnya, anak adalah mahluk kecil, anak adalah mahluk yang lahir dari sepasang orang tua, anak adalah manusia yang belum dewasa, anak adalah titipan Allah SWT, anak sebagai amanah, anak merupakan masa depan bangsa dan sebagainya.
            Masa depan anak berada ditangan orang tua, guru, dan lingkunganya. Pada masa anak-anak inilah potensi anak berkembang sesuai dengan lingkungannya. Salah satu potensi anak yang sangat perlu diperhatikan adalah potensi penalarannya terhadap moral. Penalaran anak terhadap moral akan mempengaruhi pembentukan karakternya. Oleh karenanya, kita sebagai pendidik atau pemerhati anak harus dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak dengan menyediakan lingkungan yang baik terhadap perkembangan potensi penalaran anak yakni moral atau dapat disebut pembentukan karakter anak.
            Pengembangan karakter yang terbaik adalah jika dimulai sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya secara luas menyatakan bahwa “jika kita gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia dewasa kita akan menjadi orang yang bermasalah atau orang jahat”. Thomas Lickona (dalam Siti Aisyah, 2009) mengatakan “seorang anak hanyalah wadah dimana seorang dewasa yang bertanggung jawab dapat diciptakan”. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi investasi manusia yang sangat tepat. Sebuah ungkapan terkenal mengungkapkan “Anak-anak berjumlah hanya sekitar 25% dari total populasi, tapi menentukan 100% dari masa depan”.
            Sudah terbukti bahwa periode yang paling efektif untuk membentuk karakter anak adalah sebelum usia 10 tahun. Diharapkan pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak. Suasana kasih saying dan mau menerima anak apa adnya, serta menghargai potensi anak, member rangsangan yang kaya untuk segenap aspek perkembagan anak merupakan jawaban bagi tumbuhnya generasi yang berkarakter di masa yang akan datang. Megawangi (dalam Siti Aisyah, 2009) mengatakan karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar (dominan, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang dipercayai, paradigma), pendidikan (apa yang diketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup) dan perjalanan (apa yang telah dialami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan).
            Masa kanak-kanak merupakan masa penuh dengan bermain dan bersukacita, riang gembira bersama teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, menanamkan pendidikan karakter pada masa kanak-kanak ini dapat dilakukan dengan permainan yang kreatif, inovatif, dan tentunya membangun kepribadian yang berkarakter.
            Permainan kreatif dan inovatif tersebut dibalut dalam kerangka edukatif. Salah satunya permainan rakyat layang-layangan. Saat ini sungguh miris melihat anak-anak zaman sekarang yang kecenderungan bermain games modern seperti playstation, game online, remote control dan lain sebagianya. Permainan tradisional seperti patok lele, mobil-mobilan dari batang pisang, dan layangan sudah sangat jarang dimainkan. Oleh karenanya, untuk membudayakan permainan rakyat ini perlu dibuat inivasi dalam permainannya.
Ketika mendengar atau melihat layangan terbang d angkasa, saat ini sudah jarang ditemui anak-anak dapat membuat layangannya sendiri. Yang saat ini tampak anak-anak membeli layangan sudah jadi yang kemudian diterbangkannya. Sehingga dengan kembali mengangkat budaya membuat layangan ini, maka anak-anak Indonesia nantinya tidak akan melupakan permainan rakyat ini.
Permainan layangan ini akan dibungkus dengan nilai-nilai edukasi penanaman nilai-nilai karakter demi terwujudnya anak bangsa yang berkarakter unggul. Sehingga dengan bermain layangan, anak-anak sekaligus belajar mengaplikasikan nili-nilai karakter yang harus dimiliknya.
            Di dalam bermain layangan, kita butuh beberapa perlengkapan dan bahan. Agar tercapainya permainan yang dapat menanamkan nilai kejujuran dalam diri anak, leadership, teamwork, tanggungjawab, disiplin, dan tentunya kesederhanaan, maka dalam perlombaan membuat dan menerbangkan layangan ini anak-anak akan dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Dan hiburan kreatif ini diberi nama Layangan dari kita, oleh kita dan untuk kita.
            Adapun tahapan dalam bermainnya akan dibagi dalam persiapan bahan dan perlengkapan, pembuatan layangan, dan penerbangan layangan. Dan setiap tahap akan diberi penilaian. Berikut detail tahapan demi tahapan dalam permainan Layangan dari kita, oleh kita, dan untuk kita:
1.      Tahap persiapan
Dalam tahapan ini, Instruktur akan menyebarkan beberapa perlengkapan dan bahan di sekitar lingkungan bermain, baik diletak d warung, rumah warga atau di alam bebas. Kemudian instruktur memberikan arahan bahwasanya bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam permainan ini dapat dicari di sekitar lingkungan kita dengan syarat tidak merusak alam sekitar dan dengan cara yang terpuji (tidak mencuri atau tanpa izin yang punya dll). Tahap ini diberi waktu sekitar 10-15 menit tiap kelompoknya.

2.      Tahap pembuatan
Setelah anak-anak mendapatkan bahan dan perlengkapannya, kemudian instruktur memberikan arahan bahwasanya dalam pembuatan layangan nantinya di beri beberapa pilihan dalam membuat kerangka layangan, seperti contoh (bentuk bangun datar, bentuk benda, tumbuhan atau hewan). Tahapan ini diberi waktu sekitar 1-2 Jam tiap kelompoknya. Dan dalam tahapan ini akan dilihat kerjasama tim dan imajinasi dari anak-anak.

3.      Tahap penerbangan
Pada tahap ini, setelah anak-anak menyelesaikan layangannya setiap kelompok mengirimkan perwakilan kelompoknya untuk mempresentasikan layangan yang dibuatnya dan menceritakan bahan-bahan yang didapat darimana saja. Sesi ini diberi waktu 5 menit setiap kelompoknya. Dan setelah semua dipresentasikan, barulah memasuki tahap penerbangan dimana yang dinilai adalah yang menerbangkan layangan terlebih dahulu yang mendapat poin plus dalam tahapan ini.
           
            Setelah melalui seluruh tahapannya, kemudian instrukur akan mengakumulasikan poin masing-masing kelompok dalam setiap tahapannya. Dan akan didapat kriteria pemenang yang dapat dibagi dalam beberapa kategori (contohnya, tim terbaik 1, 2, dan 3, team work terbaik, layangan unik, layangan sederhana, tim kreatif dll). Setelah mendapat pemenangnya, kemudian di akhiri dengan pengumuman dan penganugrahan bagi setiap pemenang.
            Sehingga dengan bermain layangan dari kita, oleh kita, dan untuk kita ini dapat memupuk rasa persaudaraan, kerjasama tim, kepemimpinan, kejujuran, kesederhanaan, tanggungjawab, kerja keras  dan jiwa kompetitif dalam diri anak-anak.
Demikianlah sebuah ide atau gagasan yang terlintas dalam pikiran, maka melalui tulisan ini di sebarkan ke teman-teman, saudara-saudara dan kerabat lainnya. Semoga dapat bermanfaat dalam pembelajaran ataupun hiburan yang kreatif, inovatif dan edukatif.

Oleh: Al Razi Izzatul Yazid
Relawan Asa Muda Indonesia

Senin, 10 Juni 2013

RINDU PADA STELAN JAS PUTIH DAN PANTOLAN PUTIH BUNG HATTA


 Karya Taufiq Ismail



Setiap kali di dalam majelis orang banyak,
Ketika hadirin diminta berdiri menyanyikan lagu kebangsaan,
Inilah pengalaman yang ingin kuceritakan,

Sampai kepada bait refrein yang harus diulang-ulang,
Indonesia Raya,merdeka,merdeka...”,
Pita suaraku tak bisa menyebut”Imerdeka,merdeka”itu,

Mulutku terkatup bisu,
Menyebut dua kata merdeka itu tidak mampu,
Dan ada rasa pedih menyayat dalam kalbuku,

Seorang kemenakanku yang memperhatikan mulutku,
Belakangan dia bertanya karena ingin tahu.
“Paktuo,paktuo,kenapa paktuo diam saja,
Kenapa ketika sampai pada refrein”merdeka,merdeka”
Paktuo tidak ikut nyanyi bersama?”

Aku tersenyum mendengar pengamatannya itu,
“Betul.
Karena paktuo sekarang tidak merasa betul – betul merdeka.
Sebabnya??
Orang-merdeka adalah orang yang tidak berhutang,
Dan kalau pun berhutang, mampu membayar hutangnya.
Hutang paktuo sekarang lebih seribu trilyun,
Dan paktuo tidak tahu pasti
Apa tanganku, kakiku, alat-alat tubuhku bersih dan jujur,
Mampu membayar hutangku.”

Kemenakanku itu,
Sebelas tahun umurnya,
Berdiri bingung, tak faham kata-kataku.

“Nak,” kataku,
“dapur kita, rumah kita, kebun kita,
Fikiran kita, isi bumi kita, dijajah oleh banyak negara.
Kini kita masuk ke dalam masa kolonoalisme baru,
Dan kalau dulu penjajah kita satu,
Kini penjajah kita banyak hitungannya.
Kalau dulu kita punya harga diri,
Kini harga bangsa sudah digantung di Kantor Pegadaian Dunia.
Leher kita,
Kita ulurkan untuk dibelit tali gantungan hutang,
Pergelangan tangan kita,
Kita serahkan untuk dijepit borgol pinjaman sampai akhir zaman.”

Kemenakanku itu,
Sebelas tahun umurnya,
Berdiri bingung,
Tak faham kata-kataku.
 
2

Di awal abad 21,
Pada suatu subuh pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi,

Hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Marapi,
Yang belum dilangkahi matahari,

Lalu lintas kita kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi,

Manurun aku di Janjang Gadang,
Melangkah ke Mandiangin,
Berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta,

Di rumah beratap seng nomor 37 itulah,
Di awal abad 20,
Lahir seorang bayi laki-laki
Yang kelak akan menuliskan alfabet cita-cita bangsa
Di langit pemikirannya dan merancang peta negara
Di atas praha sejarah menusianya,

Dia tidak suka berhutang.
Sahabat karibnya, Bung Karno,
Kepada gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak,
“Masuklah kalian ke neraka
Dengan uang yang kalian samarkan dengan nama bantuan,
Yang pada hakekatnya hutang itu!”

Suara lantang 36 tahun yang silam itu
Telah terapung di Ngarai Sianok,
Hanyut di Kali Brantas,
Menyelam di Laut Banda,
Melintas di Selat Makassar,
Hilang di arus Sungai Mahakam,
Kemudian tersangkut di tenggorokan
200 juta manusia.

3

Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi,
Aku merenung di depan rumah beratap seng di Mandiangin nomor 37 itu,
Yang diawal abad 20 lalu tempat lahir seorang bayi laki-laki,

Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat
Karena rangkaian panjang mutiara sifat:
Tepat waktu, tunai janji, ringkas bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja

Angku Hatta,
Adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku?
Kucatat dalam puisiku,
Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu.

Tujuh windu sudah berlalu,
Aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,

Rindu pada sejumlah sifat dan nilai,
Yang kini kita rasakan hancur bercerai-cerai,

Kesatuan sebagai bangsa,
Rasa bersama sebagai manusia Indonesia,
Ikatan sejarah dengan pengalaman derita dan suka,
Inilah kerinduan yang luput dari sekitar kita,

Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja,
Lurus yang tabung,
Waktu yang tepat berdentang,
Janji yang tunai,
Kalimat yang ringkas padat,
Tata hidup yang hemat,

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta,
Pada stelan jas putih dan pantolan putihnya,
Simbol perlawanan pada disain hedonisme dunia,
Tidak sudi berhutang,
Kesederhanaan yang berkilau gemilang,

Kesederhanaan,
Ternyata aku tidak bisa hidup bersahaja.
Terperangkap dalam krangkeng baja materialisme,
Boros dan jauh dari hemat,
Agenda serba-bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor,
Iklan televisi,
Dan gaya hidup imitasi,
Bicara ringkas,
Susah benar aku melisankan fikiran secara padat.
Agaknya genetika Minang dalam rangkaian kromosomku
Mendiktekan sifat bicaraku yang berpanjang-panjang.
Angku Hatta,
Bagaimana Angku dapat bicara ringkas dan padat?
Tertib dan apik?
Aku mngintip Angku
Pada suatu makan siang di Jalan Diponegoro,
Yang begitu tertib dan apik,

Tepat waktu.
Bung Hatta adalah teladan tepat waktu
Untuk sebuah bangsa yang selalu terlambat.
Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat.
Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah
Ketika berbuka puasa.

Kelurusan dan kejujuran.
Pertahanan apa yang mesti dibangun
Didalam sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur?
Jujur dalam masalah rezeki,
Jujur kepada isteri,
Jujur kepada suami,
Jujur kepada diri sendiri,
Jujur kepada orang banyak,
Yang bernama rakyat?
Rangkat yang selalu diatas namakan itu.
Ketika kita rindu bersangatan
Kepada sepasang jas putih dan pantolan putih itu,
Kita mohonkan kepada Tuhan,
Semoga nilali-nilai dan sifat-sifat luhur bangsa
Yang telah hancur berantakan,
Kepada kita utuh dikembalikan.

2001

Di bacakan Pada Seminar Dan Pelatihan
Pencerdasan Karakter Generasi Penerus Bangsa
Forum Indonesia Muda 14 B
Bukittinggi, 1 Juni 2013


Di Lautan Mana Tenggelamnya

Karya Taufiq Ismail
(Puisi Keempat)

 
Aku berjalan mencari kejujuran
Tak tahu aku dimana alamatnya

Aku pegi mencari kesederhanaan
Tak tahu aku di mana sembunyinya

Aku bertanya di mana tanggung jawab
Di laut manakah tenggelamnya?

Aku berjalan mencari ketekunan
Di rimba manakah dia menghilangnya?

Aku berjalan mencari keikhlasan
Rasanya sih ada, tapi dimana, ya?

Aku berjalan mencari kedamaian
Di langit manakah dia melayangnya?

Wahai kejujuran dan kesederhanaan
wahai tanggung jawab dan ketekunan

wahai keikhlasan dan kedamaian
di mana gerangan kini kalian

zaman ini sangat merindukan kalian
zaman ini sangat merindukan kalian

2010

Di bacakan Pada Seminar Dan Pelatihan
Pencerdasan Karakter Generasi Penerus Bangsa
Forum Indonesia Muda 14 B
Bukittinggi, 1 Juni 2013