Kamis, 18 Agustus 2022

Merajut Senyum di Tanah Kaili

Empat tahun silam, tepatnya tanggal 28 September 2018, jarum jam menunjukkan pukul 18.04 WITA. Di saat azan maghrib berkumandang, tanah Kaili bergetar hebat yang menyebabkan bangunan runtuh dimana - mana, tanah - tanah terbelah dan jembatan putus. Masyarakat dilanda kepanikan mencari sanak saudara yang terpisah. Belum reda kepanikan warga, 20 menit setelahnya tiba – tiba gelombang laut setinggi 11 Meter menerjang tepian pantai Teluk Palu dengan ganasnya. Masyarakat lari terbirit – birit menjauh dari bibir pantai untuk menyelamatkan diri. Derai tangis menggema dimana – mana. Orang tua, anak – anak mencari keluarganya yang hilang diterjang ganasnya gelombang tsunami.


Saat kejadian dahsyat melanda Tanah Kaili, Aku yang berada 2.419 Km dari lokasi kejadian mendapat kabar melalui siaran televisi. Reporter televisi mengabarkan bahwa telah terjadi gempa yang berkekuatan 7.4 M mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah dan menyebabkan gelombang tsunami. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul 17.24 WIB disaat Aku bersama rekan - rekan sejawat di kantor sedang berolahraga bulutangkis. Mendengar kabar tersebut, Kamipun langsung menghentikan aktivitas dan segera menyimak berita dari salah satu stasiun televisi. Dan beberapa saat kemudian, Aku mendapatkan arahan untuk segera berangkat menuju lokasi kejadian.

Aku pun bergegas untuk pulang dan mempersiapkan semua perlengkapan dan perbekalan untuk turun aksi kemanusiaan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Subuh hari keesokan harinya, Aku bersama salah satu rekan di kantor telah bersiap terbang dari Bandara Husein Sastranegara menuju Kota Palu. Mengingat tidak beroperasinya Bandara di Kota Palu, maka memutuskan memilih rute penerbangan Bandung – Makassar – Mamuju. Setiba di Makassar mendapatkan kabar bahwasanya jalur Mamuju – Palu ada jembatan putus, dan dengan cepat mengambil keputusan dengan merubah rute penerbangan menjadi Makassar – Gorontalo. Setiba di Kota Gorontalo yang dikenal dengan julukan Kota Serambi Madinah, Kami berdua menunggu jemputan dari relawan Gorontalo. Selanjutnya Kamipun belanja kebutuhan tambahan yang akan dibawa dalam aksi kemanusiaan di Kota Palu.

Sore hari nya, Kami bersama 8 orang relawan Gorontalo merapat ke Kantor Basarnas Gorontalo untuk koordinasi keberangkatan rombongan tim kemanusiaan menuju Kota Palu. Saat itu Kami mendapat kabar bahwasanya rute menuju Kota Palu ada beberapa titik longsoran yang menutupi jalan. Namun, info tersebut tak menyurutkan langkah kaki Aku bersama tim untuk segera bergerak menuju lokasi terdampak bencana di Sulawesi Tengah. Perjalanan daratpun dimulai, dengan jarak yang akan ditempuh 604 Km dengan perkiraan waktu perjalanan 14 jam.

Di perjalanan, sesuai informasi awal yang Kami peroleh bahwasanya ada titik longsor memang benar adanya. Kami pun dengan penuh semangat turun dari kendaraan dan membantu arus lalu lintas yang macet di titik lonsor tersebut. Hingga akhirnya mobil Kami pun melewati kemacetan yang disebabkan oleh titik longsor. Dan tak terasa 20 jam perjalanan yang ditempuh, Kami pun tiba di Kota Palu. Begitu tersayat hati melihat puing – puing bangunan yang berserakan, bangunan  toko yang dindingnya bolong dan terdapat kapal kayu besar di pinggiran jalan lintas menuju Kota Palu. Hingga terbersit di dalam hati, begitu dahsyatnya gelombang tsunami yang menerjang tepian pantai Teluk Palu ini hingga menyebabkan kapal yang begitu besar tersapu hingga ke daratan. Dan bau busuk begitu menyengat hidung saat melewati tepian pantai yang sangat terlihat bekas dahsyatnya gelombang tsunami yang menghantam daratan hingga rata dengan tanah.

Setiba di lokasi yang dituju yaitu sebuah masjid berwarna kuning yang dari luar tampak masih kokoh tanpa ada retakan sedikitpun. Mesjid bernama Jabal Nur ini merupakan bantuan dari Rumah Zakat setahun sebelumnya yang akan menjadi pos utama tim kemanusiaan Rumah Zakat selama giat kemanusiaan di Kota Palu ini. Setelah menurunkan barang dan beristirahat sejenak, Aku bersama rekan se kantorku berkomunikasi dengan DKM masjid dan menyampaikan maksud kehadiran Kami dan juga rencana pendirian pos Utama di Mesjid ini.

Malam pun tiba, kondisi listrik yang masih terputus, air bersihpun terkendala dan juga terbatasnya perlengkapan untuk memasak karena bahan bakar gas juga susah dicari. Aku bersama rekan sekantorku berjalan menuju pos komando tanggap darurat yang berlokasi di Korem Tadulako untuk berkoordinasi. Karena BBM mobil pun sudah hampir habis, Kamipun berjalan menyusuri sepinya jalanan Kota palu saat itu. Tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Ibarat kota mati yang tak berpenghuni. Sampai suara kucing pun kedengaran dari jauh. Dan tak terasa setelah berjalan kaki sejauh 6 Km, Kami pun tiba di Pos Komando, dan langsung mendaftarkan tim kemnusiaan Rumah Zakat. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 20.30 WITA, Aku pun bergegas balik ke pos utama relawan Rumah Zakat. Kami pun melakukan brifing untuk pembagian tugas aktivitas esok hari. Dengan segala keterbatasan yang ada tak menjadi penyurut langkah untuk merajut senyum kembali masyarakat disini. Tim pun dibagi menjadi 3 dengan aktivitas pencarian dan evakuasi, medis dan assesment. Aku bertugas untuk berkoordinasi dan assessment data selaku koordinator lapangan giat kemanusiaan Rumah Zakat di Sulawesi Tengah.

Inilah pengalaman yang paling mencekam bagiku dari sekian aksi kemanusiaan yang telah kujalani sebelumnya. Dengan kondisi Listrik padam, BBM sulit diperoleh dan air bersihpun terbatas. Toko dan pasar pun tutup tidak beroperasi, tak terasa baru di hari ketiga dapat merasakan nikmatnya nasi dengan lauk sebiji kornet goreng. Dimana hari sebelumnya hanya mengganjal perut dengan roti dan cokelat serta pisang goreng yang diberi gratis oleh masyarakat. Kondisi semakin mencekam dengan maraknya penjarahan minimarket oleh masyarakat.

Hari demi hari kulalui bersama sahabat seperjuangan yang didatangkan dari Aceh Hingga Ambon. Lebih dari seratusan relawan Rumah Zakat dari beberapa kota didatangkan untuk merajut senyum masyarakat di Tanah Kaili ini. Ada yang menjadi relawan di pencarian pertolongan, relawan di dapur umum, relawan medis, relawan psikosial dan juga relawan bidang logistik. Semuanya bersatu bahu membahu satu sama lainnya. Setiap hari selalu ada cerita atau kisah haru dari masyarakat yang terdampak, dari yang ia melihat anak dan istrinya tenggelam di telan tanah bergerak. Hingga ada yang diselamatkan sajadah saat adzan di masjid waktu terjadinya gempa. Cerita dan kisah pilu semakin menguatkan Aku dan para pejuang lainnya untuk terus memberikan layanan terbaik agar senyum masyarakat kembali muncul di tengah duka lara yang baru saja menimpa mereka. Bahkan tim medis yang ditugaskan ke daerah terisolir sempat tidak dapat kembali ke pos utama disebabkan terjebak dalam longsoran. Hingga di evakuasi dengan helikopter.

Tidak terasa, telah satu bulan disini merajut senyum masyarakat di Tanah Kaili. Mengapa disebut tanah Kaili?, yakni karena Kaili adalah nama suku asli yang tinggal di Sulawesi Tengah ini. Sebulan disini begitu banyak pelajaran yang didapat. Dari bertemu dengan orang orang lokal yang tangguh salah satunya seorang perempuan bernama Neneng yang begitu semangat untuk menjadi jembatan kebaikan dari para Lembaga yang membantu masyarakat nya. Ibu Neneng ini salah satu anak dari mantan sekretaris dewan. Beliau menjadikan rumahnya sebagai pos penerima bantuan yang akan disalurkan kepada para tetangga nya yang terdampak. Beliau tak kenal lelah ditengah kesibukan aktivitas di kantor tetapi mau membantu sebagai perantara kebaikan dari Rumah Zakat kepada para penyintas di sekitar lingkungan rumahnya. Bahkan beliau bersama ibunya menyalurkan beras kepada para penyintas saat awal awal kejadian karena kebetulan ada stok beras di rumahnya.

Selain relawan kemanusiaan Rumah Zakat, begitu banyak relawan kemanusiaan dari berbagai lembaga turut turun terlibat dalam membangun kembali kehidupan masyakarat Sulawesi Tengah. Tidak terlihat dari raut wajah mereka itu lelah karena sejatinya dengan melihat senyum simpul dari anak anak, ibu - ibu dan bapak – bapak yang tinggal di bawah tenda - tenda darurat ketika mendapat bantuan menjadi penghapus dahaga bagi Kami tim kemanusiaan. Terkadang masyarakat penyintas yang mendapatkan bantuan memanjatkan doa kepada Kami relawan kemanusiaan. Membuat Kami sebagai relawan kemanusiaan ibarat HP kembali tercharger semangat juangnya.

Aku pun tak pernah mengira akan ditugaskan selama 90 hari di Tanah Kaili ini untuk merajut kembali senyum masyarakat Kaili. Ini merupakan kesempatan kedua menginjakkan kaki di Provinsi Sulawesi Tengah setelah sebelumnya 3 tahun sebelumnya tepatnya di September 2015 juga berkesempatan menginjakkan kaki di Teluk Tomini Sulawesi Tengah dalam giat Bhakti Kesejahteraan. Aku tidak akan pernah merasa rugi ketika melaksanakan aksi – aksi kemanusiaan bahkan merasa beruntung. Karena Aku berpegang teguh dengan janji Allah SWT dalam sebuah hadist yang berbunyi “Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim).

90 hari lamanya di Tanah Kaili, banyak sekali kisah yang mengharu biru. Dari sulitnya untuk mendapat makanan, air bersih, bahan bakar, listrik bahkan terjadinya penjarahan namun tetap selalu diberi kemudahan dalam menjalaninya. Selain itu juga banyak sekali bertemu dengan orang – orang yang penuh keikhlasan untuk saling tolong menolong dengan sesama tanpa melihat suku dan agama. Karena seperti kutipan perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.Dan tentunya pengalaman ini menjadi sebuah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidup Ku yang kelak dapat menjadi cerita inspirasi bagi keturunanku dan juga bagi pembaca. Ketika kisah ini dapat menginspirasi banyak orang untuk turut menjadi relawan kemanusiaan maka InsyaAllah akan terus mengalir kebaikan kebaikan tersebut. Sehingga kita menjadi pribadi – pribadi terbaik di hadapan Allah SWT kelak dengan kebaikan kebaikan yang kita jalankan.

Next
This is the most recent post.
Posting Lama

2 komentar: