Minggu, 22 Juli 2012

Peranan Pemerintah Menyelesaikan Konflik Agraria



Oleh: Al Razi Izzatul Yazid
Terbit Pada Kolom Youngster Tribun Pekanbaru Edisi Minggu, 22 Juli 2012
Menteri Sekretaris Kabinet BEM UNRI Periode 2010-2012

Konflik Agraria seakan terus mengalir tanpa berkesudahan. Dimulai dari peristiwa Mesuji di Lampung, Bima di NTB dan yang paling hangat di Provinsi Riau ini yakni kasus Pulau Padang yang hingga saat ini belum ada penyelesaian. Beberapa kasus tersebut merupakan contoh sebagian kecil dari kasus konflik yang menyangkut masalah agraria di daerah yang jarang kita ketahui. Namun, konflik agraria sejatinya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak lama bahkan semenjak masa kolonial, perebutan lahan telah terjadi antara petani dengan pemerintah maupun petani dengan kelompok pengusaha.
Baru-baru ini kembali mucul konflik lahan ulayat masyarakat Senama Nenek Kabupaten Kampar dengan salah satu perusahaan BUMN yakni PTPN V. Carut-marut penyelesaian sengketa lahan antara warga desa Sinamanek Kecamatan Tapung, Kampar dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN V) hingga saat ini masih belum menemukan titik temu.Sehingga persoalan perundingan yang sudah disepakati kedua belah pihak belum lama ini semakin lama malah semakin nyaris kabur pula.
Anehnya meskipun persolan sengketa lahan ini sudah menjadi persoalan serius antara PTPN V dengan warga Sinamanenek sejak tahun 1984 lalu, yang juga menjadi perhatian kalangan Pemerintah Kabupaten dan Pemprov Riau. Sepertinya perusahaan plat merah perekebunan di Riau ini tidak mempedulikan jeritan 1400 KK warga desa tersebut.
Menilik historis, awal mulanya PTPN V masuk ke kabupaten Kampar pada tahun 1990 dan membuka lahan seluas 14.537 hektare untuk perkebunan kelapa sawit. Namun, pembukaan lahan tersebut tidak mendapat persetujuan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian lahan pertanian masyarakat dicaplok. Sejak saat itu hubungan antara masyarakat dan PTPN V tidak harmonis, seperti yang diungkapkan Ketua AMPG Taufik Syarkawi di media Suara Riau (28/07).
Pada tahun 1994 kembali PTPN V menyerobot lahan warga seluas 2.800 hektare. Lahan inilah yang saat ini terus diperjuangkan masyarakat Senama Nenek agar dikembalikan PTPN V dikarenakan merupakan lahan ulayat yang sudah turun temurun. Berbagai upaya untuk merebut kembali lahan tersebut sudah dilakukan masyarakat, tetapi tidak berhasil. Kepala Daerah dan DPRD Kampar bahkan telah mengeluarkan teguran keras kepada PTPN V agar lahan seluas 2.800 hektare tersebut dikembalikan kepada warga. Akan tetapi tetap tidak diindahkan oleh PTPN V.
Selain itu, juga telah ada dibuat komitmen pada Senin (16/07) setelah pertemuan di Kantor Perusahaan Terbatas (PT) Perkebunan Nusantara (PN) V Kebun Sungai Kencana, di Desa Sinama Nenek, Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar. Komitmen ini dituangkan dalam bentuk Kesepakatan Bersama antara PTPN V dengan Masyarakat Adat Kenegerian Sinama Nenek yang yang ditandatangani dari pihak PTPN V dan juga Ketua Komisi I DPRD Kampar. Akan tetapi, PTPN V melanggar sendiri kesepakatan yang telah dibuat. Dalam artian, PTPN V telah melecehkan Ketua Komisi I DPRD Kampar. Ada apa sebenarnya?
Konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konflik ini tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang dilakukan pemerintah di masa orde baru yang cenderung bersifat kapitalistik. Maksudnya, peraturan mengenai penguasaan lahan sangat menguntungkan pihak pengusaha misalnya dalam pemberian izin lokasi dan HGU yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Di sisi lain, hal tersebut menimbulkan kerugian bagi petani/masyarakat sekitar yang bertahun-tahun mendiami daerah tersebut dan telah menganggap tanah tersebut sebagai tanah adat/tanah nenek moyang mereka.
Kedua, Dualisme hukum antara hukum adat dan hukum Nasional juga menjadi salah satu penyebab konflik agraria, karena masing-masing pihak mengklaim lahan tersebut sesuai hukum yang mereka pegang. Namun karena Negara ini merupakan Negara Konstitusional jelas Hukum Nasional lebih didahulukan daripada Hukum Adat.
Ketiga, Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan juga merupakan salah satu pemicu konflik agraria yang lebih besar. Aparat Keamanan dianggap tidak berpihak kepada rakyat dan cenderung menguntungkan pihak pengusaha.
Dari beberapa faktor penyebab di atas maka dalam menyelesaikan konflik lahan ini tentunya pemerintah punya peranan penting. Bukan sekedar mediasi saja, akan tetapi harus dapat mengeluarkan keputusan-keputusan yang tentunya jangan sampai merugikan masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah yaitu; Pertama, Pemerintah harus menindak tegas sikap yang dilakukan PTPN V dengan melanggar komitmen yang telah disepakati. Kedua, aparat penegak hukum seharusnya berlaku adil. Ketiga, pemerintah dapat membentuk tim pencari fakta dalam hal mencari kebenaran yang sebenarnya atas kepemilikan tanah. Keempat, mereformasi agraria seperti pembahasan RUU mengenai desa yang mengatur juga tentang pengelolaan sumber daya alam di desa. Kelima, segera dibuat peraturan pelaksanaan dari pasal 22 ayat (1) Undang- undang Pokok Agraria Tahun 1960, khusunya tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat.


0 komentar:

Posting Komentar