Empat
tahun silam, tepatnya tanggal 28 September 2018, jarum jam menunjukkan pukul
18.04 WITA. Di saat azan maghrib berkumandang, tanah Kaili bergetar hebat yang
menyebabkan bangunan runtuh dimana - mana, tanah - tanah terbelah dan jembatan
putus. Masyarakat dilanda kepanikan mencari sanak saudara yang terpisah. Belum
reda kepanikan warga, 20 menit setelahnya tiba – tiba gelombang laut setinggi
11 Meter menerjang tepian pantai Teluk Palu dengan ganasnya. Masyarakat lari terbirit
– birit menjauh dari bibir pantai untuk menyelamatkan diri. Derai tangis
menggema dimana – mana. Orang tua, anak – anak mencari keluarganya yang hilang
diterjang ganasnya gelombang tsunami.
Aku pun bergegas untuk pulang dan mempersiapkan semua perlengkapan dan perbekalan untuk turun aksi kemanusiaan di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Subuh hari keesokan harinya, Aku bersama salah satu rekan di kantor telah bersiap terbang dari Bandara Husein Sastranegara menuju Kota Palu. Mengingat tidak beroperasinya Bandara di Kota Palu, maka memutuskan memilih rute penerbangan Bandung – Makassar – Mamuju. Setiba di Makassar mendapatkan kabar bahwasanya jalur Mamuju – Palu ada jembatan putus, dan dengan cepat mengambil keputusan dengan merubah rute penerbangan menjadi Makassar – Gorontalo. Setiba di Kota Gorontalo yang dikenal dengan julukan Kota Serambi Madinah, Kami berdua menunggu jemputan dari relawan Gorontalo. Selanjutnya Kamipun belanja kebutuhan tambahan yang akan dibawa dalam aksi kemanusiaan di Kota Palu.
Sore
hari nya, Kami bersama 8 orang relawan Gorontalo merapat ke Kantor Basarnas
Gorontalo untuk koordinasi keberangkatan rombongan tim kemanusiaan menuju Kota
Palu. Saat itu Kami mendapat kabar bahwasanya rute menuju Kota Palu ada
beberapa titik longsoran yang menutupi jalan. Namun, info tersebut tak
menyurutkan langkah kaki Aku bersama tim untuk segera bergerak menuju lokasi
terdampak bencana di Sulawesi Tengah. Perjalanan daratpun dimulai, dengan jarak
yang akan ditempuh 604 Km dengan perkiraan waktu perjalanan 14 jam.
Di
perjalanan, sesuai informasi awal yang Kami peroleh bahwasanya ada titik
longsor memang benar adanya. Kami pun dengan penuh semangat turun dari
kendaraan dan membantu arus lalu lintas yang macet di titik lonsor tersebut.
Hingga akhirnya mobil Kami pun melewati kemacetan yang disebabkan oleh titik
longsor. Dan tak terasa 20 jam perjalanan yang ditempuh, Kami pun tiba di Kota
Palu. Begitu tersayat hati melihat puing – puing bangunan yang berserakan,
bangunan toko yang dindingnya bolong dan
terdapat kapal kayu besar di pinggiran jalan lintas menuju Kota Palu. Hingga
terbersit di dalam hati, begitu dahsyatnya gelombang tsunami yang menerjang tepian
pantai Teluk Palu ini hingga menyebabkan kapal yang begitu besar tersapu hingga
ke daratan. Dan bau busuk begitu menyengat hidung saat melewati tepian pantai
yang sangat terlihat bekas dahsyatnya gelombang tsunami yang menghantam daratan
hingga rata dengan tanah.
Setiba di lokasi yang dituju yaitu sebuah masjid berwarna kuning yang dari luar tampak masih kokoh tanpa ada retakan sedikitpun. Mesjid bernama Jabal Nur ini merupakan bantuan dari Rumah Zakat setahun sebelumnya yang akan menjadi pos utama tim kemanusiaan Rumah Zakat selama giat kemanusiaan di Kota Palu ini. Setelah menurunkan barang dan beristirahat sejenak, Aku bersama rekan se kantorku berkomunikasi dengan DKM masjid dan menyampaikan maksud kehadiran Kami dan juga rencana pendirian pos Utama di Mesjid ini.
Malam
pun tiba, kondisi listrik yang masih terputus, air bersihpun terkendala dan
juga terbatasnya perlengkapan untuk memasak karena bahan bakar gas juga susah
dicari. Aku bersama rekan sekantorku berjalan menuju pos komando tanggap
darurat yang berlokasi di Korem Tadulako untuk berkoordinasi. Karena BBM mobil
pun sudah hampir habis, Kamipun berjalan menyusuri sepinya jalanan Kota palu
saat itu. Tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Ibarat kota mati yang tak
berpenghuni. Sampai suara kucing pun kedengaran dari jauh. Dan tak terasa
setelah berjalan kaki sejauh 6 Km, Kami pun tiba di Pos Komando, dan langsung mendaftarkan
tim kemnusiaan Rumah Zakat. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 20.30
WITA, Aku pun bergegas balik ke pos utama relawan Rumah Zakat. Kami pun
melakukan brifing untuk pembagian tugas aktivitas esok hari. Dengan segala
keterbatasan yang ada tak menjadi penyurut langkah untuk merajut senyum kembali
masyarakat disini. Tim pun dibagi menjadi 3 dengan aktivitas pencarian dan
evakuasi, medis dan assesment. Aku bertugas untuk berkoordinasi dan assessment
data selaku koordinator lapangan giat kemanusiaan Rumah Zakat di Sulawesi
Tengah.
Inilah
pengalaman yang paling mencekam bagiku dari sekian aksi kemanusiaan yang telah kujalani
sebelumnya. Dengan kondisi Listrik padam, BBM sulit diperoleh dan air bersihpun
terbatas. Toko dan pasar pun tutup tidak beroperasi, tak terasa baru di hari
ketiga dapat merasakan nikmatnya nasi dengan lauk sebiji kornet goreng. Dimana
hari sebelumnya hanya mengganjal perut dengan roti dan cokelat serta pisang
goreng yang diberi gratis oleh masyarakat. Kondisi semakin mencekam dengan
maraknya penjarahan minimarket oleh masyarakat.
Hari
demi hari kulalui bersama sahabat seperjuangan yang didatangkan dari Aceh
Hingga Ambon. Lebih dari seratusan relawan Rumah Zakat dari beberapa kota
didatangkan untuk merajut senyum masyarakat di Tanah Kaili ini. Ada yang
menjadi relawan di pencarian pertolongan, relawan di dapur umum, relawan medis,
relawan psikosial dan juga relawan bidang logistik. Semuanya bersatu bahu membahu
satu sama lainnya. Setiap hari selalu ada cerita atau kisah haru dari
masyarakat yang terdampak, dari yang ia melihat anak dan istrinya tenggelam di
telan tanah bergerak. Hingga ada yang diselamatkan sajadah saat adzan di masjid
waktu terjadinya gempa. Cerita dan kisah pilu semakin menguatkan Aku dan para
pejuang lainnya untuk terus memberikan layanan terbaik agar senyum masyarakat kembali
muncul di tengah duka lara yang baru saja menimpa mereka. Bahkan tim medis yang
ditugaskan ke daerah terisolir sempat tidak dapat kembali ke pos utama
disebabkan terjebak dalam longsoran. Hingga di evakuasi dengan helikopter.
Tidak
terasa, telah satu bulan disini merajut senyum masyarakat di Tanah Kaili.
Mengapa disebut tanah Kaili?, yakni karena Kaili adalah nama suku asli yang
tinggal di Sulawesi Tengah ini. Sebulan disini begitu banyak pelajaran yang
didapat. Dari bertemu dengan orang orang lokal yang tangguh salah satunya
seorang perempuan bernama Neneng yang begitu semangat untuk menjadi jembatan
kebaikan dari para Lembaga yang membantu masyarakat nya. Ibu Neneng ini salah
satu anak dari mantan sekretaris dewan. Beliau menjadikan rumahnya sebagai pos
penerima bantuan yang akan disalurkan kepada para tetangga nya yang terdampak.
Beliau tak kenal lelah ditengah kesibukan aktivitas di kantor tetapi mau
membantu sebagai perantara kebaikan dari Rumah Zakat kepada para penyintas di
sekitar lingkungan rumahnya. Bahkan beliau bersama ibunya menyalurkan beras
kepada para penyintas saat awal awal kejadian karena kebetulan ada stok beras
di rumahnya.
Selain
relawan kemanusiaan Rumah Zakat, begitu banyak relawan kemanusiaan dari berbagai
lembaga turut turun terlibat dalam membangun kembali kehidupan masyakarat
Sulawesi Tengah. Tidak terlihat dari raut wajah mereka itu lelah karena
sejatinya dengan melihat senyum simpul dari anak anak, ibu - ibu dan bapak –
bapak yang tinggal di bawah tenda - tenda darurat ketika mendapat bantuan menjadi
penghapus dahaga bagi Kami tim kemanusiaan. Terkadang masyarakat penyintas yang
mendapatkan bantuan memanjatkan doa kepada Kami relawan kemanusiaan. Membuat
Kami sebagai relawan kemanusiaan ibarat HP kembali tercharger semangat
juangnya.
Aku
pun tak pernah mengira akan ditugaskan selama 90 hari di Tanah Kaili ini untuk
merajut kembali senyum masyarakat Kaili. Ini merupakan kesempatan kedua
menginjakkan kaki di Provinsi Sulawesi Tengah setelah sebelumnya 3 tahun
sebelumnya tepatnya di September 2015 juga berkesempatan menginjakkan kaki di
Teluk Tomini Sulawesi Tengah dalam giat Bhakti Kesejahteraan. Aku tidak akan pernah
merasa rugi ketika melaksanakan aksi – aksi kemanusiaan bahkan merasa beruntung.
Karena Aku berpegang teguh dengan janji Allah SWT dalam sebuah hadist yang
berbunyi “Allah akan senantiasa
menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim).
90 hari lamanya di Tanah Kaili, banyak sekali kisah yang mengharu biru. Dari sulitnya untuk mendapat makanan, air bersih, bahan bakar, listrik bahkan terjadinya penjarahan namun tetap selalu diberi kemudahan dalam menjalaninya. Selain itu juga banyak sekali bertemu dengan orang – orang yang penuh keikhlasan untuk saling tolong menolong dengan sesama tanpa melihat suku dan agama. Karena seperti kutipan perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib “Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” Dan tentunya pengalaman ini menjadi sebuah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidup Ku yang kelak dapat menjadi cerita inspirasi bagi keturunanku dan juga bagi pembaca. Ketika kisah ini dapat menginspirasi banyak orang untuk turut menjadi relawan kemanusiaan maka InsyaAllah akan terus mengalir kebaikan kebaikan tersebut. Sehingga kita menjadi pribadi – pribadi terbaik di hadapan Allah SWT kelak dengan kebaikan kebaikan yang kita jalankan.
Assalamualaikum bang Ari... Hehe aku niih Fadel...
BalasHapusWa'alaikumsalam wr wb. Siap
BalasHapus