Minggu, 16 Maret 2014

ISLAMISASI PENDIDIKAN MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER

Negara Republik Indonesia tercinta ini telah medeka 68 tahun yang silam. Selama perjalanan sejak kemerdekaan, telah banyak sejarah yang tertuang baik dalam dunia politik, ekonomi, maupun dunia pendidikan. Dalam sejarah perjalanan pendidikan di Indonesia, kurikulum sudah menjadi stigma negative dalam masyarakat karena seringnya berubah tetapi kualitasnya masih tetap diragukan. Kurikulum yang merupakan sarana untuk mencapai program pendidikan yang dikehendaki tidak akan berarti jika tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana yang diperlukan seperti sumber-sumber belajar dan mengajar yang memadai, kemampuan tenaga pengajar, metodologi yang sesuai, serta kejernihan arah serta tujuan yang akan dicapai. Pelaksanaan suatu kurikulum tidak terlepas dari arah perkembangan suatu masyarakat. Perkembangan kurikulum di Indonesia pada zaman pasca kemerdekaan hingga saat ini terus mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman serta terus akan mengalami penyempurnaan dalam segi muatan, pelaksanaan, dan evaluasinya.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004, 2006, hingga yang terkini kurikulum 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Jika ditelisik satu persatu dari awal hingga kurikulum terbaru saat ini, tidak berbeda jauh tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari kurikulum tersebut karena dibentuk berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dimulai dari kurikulum 1947 yang disebut dengan Rentjana Pelajaran 1947. Kurikulum pada tahun ini masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan kurikulum yang pernah digunakan sebelumnya oleh Belanda. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda dan kurikulum ini tujuannya tidak menekankan pada pendidikan pikiran, tetapi yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Begitu juga dengan kurikulum 1952 hingga kini kurikulum 2013 yang semuanya mengedepankan pendidikan moral, watak, agama sehingga membentuk pribadi-pribadi berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Dimana pada saat ini dikenal atau digadang-gadangkan dengan pendidikan karakter (dalam modul PJJ PGSD Dikti, diakses tanggal 10 Maret 2014).

Namun, jika dilihat dan dibandingkan antara perencanaan kurikulum dan implementasi pelaksanaannya sangat jauh dari apa yang diharapkan. Bayangkan saja, jika kita bertujuan membentuk kepribadian yang berakhlak mulia, namun waktu yang diperuntukkan untuk menanamkan nilai-nilai akhlak dan moral hanya 4 jam pelajaran dalam seminggu. Sehingga dapat dilihat bahwasanya sistem pendidikan Indonesia masih jauh dari nilai-nilai keislaman dengan kata lain masih memisahkan antara agama dengan pendidikan yang notabenenya ilmu pengetahuan bersumber dari Al-Qur’an. Sehingga wajar saja saat ini Indonesia terkenal dengan negara terkorup di Dunia, dari kalangan pengusaha hingga pejabat negara berperilaku amoral. Pemuda bangsa terjerumus dalam pergaulan bebas, miras, dan narkoba. Hal ini sebagai bukti gagalnya sistem pendidikan Indonesia mendidik generasi bangsanya menjadi generasi bermoral dan berakhlak mulia. Selain itu juga, akhir tahun yang lalu dalam berita Waspada Online (06/12) menyatakan bahwa hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2012 menunjukkan sistem pendidikan Indonesia masih sangat jeblok. Dari 65 negara anggota PISA, pendidikan Indonesia berada di bawah peringkat 64. Tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-61 dari 65 negara anggota PISA. Indonesia hanya mengumpulkan skor membaca 396 poin. Tingkat membaca penduduk Indonesia tertinggal dari negara tetangga, Thailand (50) dan Malaysia (52). Untuk literasi matematika, pelajar Indonesia berada di peringkat 64 dengan skor 375. Adapun skor literasi sains berada di peringkat 64 dengan skor 382. Sungguh sangat miris melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini yang jauh dari harapan pembukaan UUD 1945.

Melihat kondisi sistem pendidikan Indonesia yang masih carut marut, maka perlu adanya peningkatan implementasi kurikulum yang digunakan. Yang mana pada saat ini yang digadang-gadangkan pemerintah yakni pendidikan berkarakter. Dimana satu diantara 18 nilai karakter yang ingin dibentuk yakni menjadi pribadi yang religious.

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Asapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib (Tono Hidayat, 2013).

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang penanaman nilai-nilai karakter kepada siswa didik, dengan tujuan agar menempatkan pendidikan pada posisi yang sangat mulia bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian (Wikipedia diakses tanggal 10 Maret 2014). Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal).

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Menurut Lickona (dalam Haryanto, 2012), karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan (Tono Hidayat, 2013).

Pendidikan karakter ini juga menjadi pendukung/penyokong kecakapan kognitif. Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.

Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain.

Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan menghormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik (Timothy Wibowo, 2012).

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Dengan demikian, akan tercapainya pelaksanaan pendidikan Islam yang sebagaimana dimaksud Prof. Dr. Omar Mohammad al-Toumi al-Syaibany (dalam Bukhari Umar, 2010) yang mendefinisikan pendidikan Islam dengan “Proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Dimana pendidikan Islam memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika serta menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan dalam masyarakat dan alam semesta. Selain itu, juga akan tercapainya konsep pendidikan menurut Imam Ghazali yang tertuang dalam maha karyanya, Ihya Ulumuddin yang dirangkum oleh Prof. DR. Tolhah Hasan (dalam Saiful Falah, 2011) yang menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan sarana untuk mencapai kemuliaan dan mencerahkan jiwa. Al-Ghazali menyatakan: “Selama ilmu yang dimiliki oleh seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi lebih dekat kepada Allah”.

Oleh karena itu, Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam sebuah kurikulum yang baku, diterapkan dalam metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Sementara itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Sehingga dengan pendidikan karakter ini dapat menginternalisasikan nilai-nilai keislaman di dunia Pendidikan dan dapat mewarnai setiap pribadi peserta didik. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia yang unggul dan berakhlak mulia akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.


Oleh : Al Razi Izzatul Yazid
Karya ini memperoleh Juara II dalam Lomba Menulis Essai dalam Rangka Musbar LSI Al Maidan FKIP Universitas Riau 2014 

0 komentar:

Posting Komentar