Negara Republik Indonesia tercinta ini telah medeka
68 tahun yang silam. Selama perjalanan sejak kemerdekaan, telah banyak sejarah
yang tertuang baik dalam dunia politik, ekonomi, maupun dunia pendidikan. Dalam
sejarah perjalanan pendidikan di Indonesia, kurikulum sudah menjadi stigma
negative dalam masyarakat karena seringnya berubah tetapi kualitasnya masih
tetap diragukan. Kurikulum yang merupakan sarana untuk mencapai program
pendidikan yang dikehendaki tidak akan berarti jika tidak ditunjang oleh sarana
dan prasarana yang diperlukan seperti sumber-sumber belajar dan mengajar yang
memadai, kemampuan tenaga pengajar, metodologi yang sesuai, serta kejernihan
arah serta tujuan yang akan dicapai. Pelaksanaan suatu kurikulum tidak terlepas
dari arah perkembangan suatu masyarakat. Perkembangan kurikulum di Indonesia
pada zaman pasca kemerdekaan hingga saat ini terus mengalami perubahan sesuai
dengan tuntutan zaman serta terus akan mengalami penyempurnaan dalam segi
muatan, pelaksanaan, dan evaluasinya.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952,
1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004, 2006, hingga yang terkini kurikulum
2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana
pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Jika ditelisik satu
persatu dari awal hingga kurikulum terbaru saat ini, tidak berbeda jauh tujuan
pendidikan yang ingin dicapai dari kurikulum tersebut karena dibentuk
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dimulai dari kurikulum 1947 yang disebut
dengan Rentjana Pelajaran 1947. Kurikulum pada tahun ini masih dipengaruhi
sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan
kurikulum yang pernah digunakan sebelumnya oleh Belanda. Rentjana Pelajaran
1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda
dan kurikulum ini tujuannya tidak menekankan pada pendidikan pikiran, tetapi
yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Begitu juga dengan kurikulum 1952 hingga kini kurikulum 2013 yang semuanya
mengedepankan pendidikan moral, watak, agama sehingga membentuk pribadi-pribadi
berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Dimana pada saat ini dikenal atau
digadang-gadangkan dengan pendidikan karakter (dalam modul PJJ PGSD Dikti, diakses
tanggal 10 Maret 2014).
Namun, jika dilihat dan dibandingkan antara
perencanaan kurikulum dan implementasi pelaksanaannya sangat jauh dari apa yang
diharapkan. Bayangkan saja, jika kita bertujuan membentuk kepribadian yang
berakhlak mulia, namun waktu yang diperuntukkan untuk menanamkan nilai-nilai
akhlak dan moral hanya 4 jam pelajaran dalam seminggu. Sehingga dapat dilihat
bahwasanya sistem pendidikan Indonesia masih jauh dari nilai-nilai keislaman
dengan kata lain masih memisahkan antara agama dengan pendidikan yang
notabenenya ilmu pengetahuan bersumber dari Al-Qur’an. Sehingga wajar saja saat
ini Indonesia terkenal dengan negara terkorup di Dunia, dari kalangan pengusaha
hingga pejabat negara berperilaku amoral. Pemuda bangsa terjerumus dalam
pergaulan bebas, miras, dan narkoba. Hal ini sebagai bukti gagalnya sistem
pendidikan Indonesia mendidik generasi bangsanya menjadi generasi bermoral dan
berakhlak mulia. Selain itu juga, akhir tahun yang lalu dalam berita Waspada
Online (06/12) menyatakan bahwa hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA)
2012 menunjukkan sistem pendidikan Indonesia masih
sangat jeblok. Dari 65 negara anggota PISA, pendidikan Indonesia berada di
bawah peringkat 64. Tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-61
dari 65 negara anggota PISA. Indonesia hanya mengumpulkan skor membaca 396
poin. Tingkat membaca penduduk Indonesia tertinggal dari negara tetangga,
Thailand (50) dan Malaysia (52). Untuk literasi matematika, pelajar Indonesia
berada di peringkat 64 dengan skor 375. Adapun skor literasi sains berada di
peringkat 64 dengan skor 382. Sungguh sangat miris melihat kondisi bangsa
Indonesia saat ini yang jauh dari harapan pembukaan UUD 1945.
Melihat kondisi sistem pendidikan Indonesia yang
masih carut marut, maka perlu adanya peningkatan implementasi kurikulum yang
digunakan. Yang mana pada saat ini yang digadang-gadangkan pemerintah yakni
pendidikan berkarakter. Dimana satu diantara 18 nilai karakter yang ingin
dibentuk yakni menjadi pribadi yang religious.
Pengertian
karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
watak”. Asapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat,
bertabiat, dan berwatak. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to
mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur,
kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan
berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki
pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti
reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan
inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar,
berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati
janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia,
bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif,
disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis,
hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri,
produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib (Tono
Hidayat, 2013).
Pendidikan
karakter adalah pendidikan yang penanaman nilai-nilai karakter
kepada siswa didik, dengan tujuan agar menempatkan pendidikan pada posisi yang
sangat mulia bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian (Wikipedia diakses
tanggal 10 Maret 2014). Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all
dimensions of school life to foster optimal character development (usaha
kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk
membantu pembentukan karakter secara optimal).
Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh
warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai
suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pembentukan karakter merupakan salah
satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan
bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu
bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas,
namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir
generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Menurut
Lickona (dalam Haryanto, 2012), karakter berkaitan dengan konsep moral (moral
knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral
behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter
yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat
baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Pendidikan karakter melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga
aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari
nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah,
diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong
dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh,
kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu,
diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting
the good. Knowing the good bisa
mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana
merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine
yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga
tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta
dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi
kebiasaan (Tono
Hidayat, 2013).
Pendidikan
karakter ini juga menjadi pendukung/penyokong kecakapan kognitif. Beberapa
kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak
peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin
melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah.
Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan
pendidikan karakter.
Ada
sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu
adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan
karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun
dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan
berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan
kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan
dikendalikan orang lain.
Pendidikan
karakter penting bagi pendidikan di Indonesia.
Pendidikan karakter akan menjadi basic
atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak
mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan,
kegotongroyongan, saling membantu dan menghormati dan sebagainya. Pendidikan
karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan
kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan
penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang
tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan
kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan
orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill.
Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater
pada anak didik (Timothy Wibowo, 2012).
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis
dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi
ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan,
karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Dengan
demikian, akan tercapainya pelaksanaan pendidikan Islam yang
sebagaimana dimaksud Prof. Dr. Omar Mohammad al-Toumi al-Syaibany (dalam
Bukhari Umar, 2010) yang mendefinisikan pendidikan Islam dengan “Proses
mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam
sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai
profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Dimana pendidikan
Islam memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada
pendidikan etika serta menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan
kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan dalam masyarakat
dan alam semesta. Selain itu, juga akan tercapainya konsep pendidikan menurut
Imam Ghazali yang tertuang dalam maha karyanya, Ihya Ulumuddin yang
dirangkum oleh Prof. DR. Tolhah Hasan (dalam Saiful Falah, 2011) yang menyatakan
bahwa pendidikan itu merupakan sarana untuk mencapai kemuliaan dan mencerahkan
jiwa. Al-Ghazali menyatakan: “Selama ilmu yang dimiliki oleh seorang itu
lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi lebih dekat kepada
Allah”.
Oleh
karena itu, Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam sebuah kurikulum
yang baku, diterapkan dalam metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam
pembelajaran. Sementara itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga
sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Sehingga dengan pendidikan
karakter ini dapat menginternalisasikan nilai-nilai keislaman di dunia
Pendidikan dan dapat mewarnai setiap pribadi peserta didik. Dengan begitu,
generasi-generasi Indonesia yang unggul dan berakhlak mulia akan dilahirkan
dari sistem pendidikan karakter.
Oleh : Al Razi Izzatul Yazid
Karya ini memperoleh Juara II dalam Lomba Menulis Essai dalam Rangka Musbar LSI Al Maidan FKIP Universitas Riau 2014
0 komentar:
Posting Komentar