Karya Taufiq Ismail
Setiap kali di dalam majelis orang banyak,
Ketika hadirin diminta berdiri menyanyikan
lagu kebangsaan,
Inilah pengalaman yang ingin kuceritakan,
Sampai kepada bait refrein yang harus
diulang-ulang,
“Indonesia
Raya,merdeka,merdeka...”,
Pita suaraku tak bisa
menyebut”Imerdeka,merdeka”itu,
Mulutku terkatup bisu,
Menyebut dua kata merdeka itu tidak mampu,
Dan ada rasa pedih menyayat dalam kalbuku,
Seorang kemenakanku yang memperhatikan
mulutku,
Belakangan dia bertanya karena ingin tahu.
“Paktuo,paktuo,kenapa paktuo diam saja,
Kenapa ketika sampai pada refrein”merdeka,merdeka”
Paktuo tidak ikut nyanyi bersama?”
Aku tersenyum mendengar pengamatannya itu,
“Betul.
Karena paktuo sekarang tidak merasa betul –
betul merdeka.
Sebabnya??
Orang-merdeka adalah orang yang tidak
berhutang,
Dan kalau pun berhutang, mampu membayar
hutangnya.
Hutang paktuo sekarang lebih seribu
trilyun,
Dan paktuo tidak tahu pasti
Apa tanganku, kakiku, alat-alat tubuhku
bersih dan jujur,
Mampu membayar hutangku.”
Kemenakanku itu,
Sebelas tahun umurnya,
Berdiri bingung, tak faham kata-kataku.
“Nak,” kataku,
“dapur kita, rumah kita, kebun kita,
Fikiran kita, isi bumi kita, dijajah oleh
banyak negara.
Kini kita masuk ke dalam masa kolonoalisme
baru,
Dan kalau dulu penjajah kita satu,
Kini penjajah kita banyak hitungannya.
Kalau dulu kita punya harga diri,
Kini harga bangsa sudah digantung di Kantor
Pegadaian Dunia.
Leher kita,
Kita ulurkan untuk dibelit tali gantungan
hutang,
Pergelangan tangan kita,
Kita serahkan untuk dijepit borgol pinjaman
sampai akhir zaman.”
Kemenakanku itu,
Sebelas tahun umurnya,
Berdiri bingung,
Tak faham kata-kataku.
2
Di awal abad 21,
Pada suatu subuh pagi aku berjalan kaki di
Bukittinggi,
Hampir tak ada kabut tercantum di leher
Singgalang dan Marapi,
Yang belum dilangkahi matahari,
Lalu lintas kita kecil ini dapat dikatakan
masih begitu sunyi,
Manurun aku di Janjang Gadang,
Melangkah ke Mandiangin,
Berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung
Hatta,
Di rumah beratap seng nomor 37 itulah,
Di awal abad 20,
Lahir seorang bayi laki-laki
Yang kelak akan menuliskan alfabet
cita-cita bangsa
Di langit pemikirannya dan merancang peta
negara
Di atas praha sejarah menusianya,
Dia tidak suka berhutang.
Sahabat karibnya, Bung Karno,
Kepada gergasi-gergasi dunia itu bahkan
berteriak,
“Masuklah kalian ke neraka
Dengan uang yang kalian samarkan dengan
nama bantuan,
Yang pada hakekatnya hutang itu!”
Suara lantang 36 tahun yang silam itu
Telah terapung di Ngarai Sianok,
Hanyut di Kali Brantas,
Menyelam di Laut Banda,
Melintas di Selat Makassar,
Hilang di arus Sungai Mahakam,
Kemudian tersangkut di tenggorokan
200 juta manusia.
3
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi,
Aku merenung di depan rumah beratap seng di
Mandiangin nomor 37 itu,
Yang diawal abad 20 lalu tempat lahir
seorang bayi laki-laki,
Aku mengenang negarawan jenius ini dengan
rasa penuh hormat
Karena rangkaian panjang mutiara sifat:
Tepat waktu, tunai janji, ringkas bicara,
lurus jujur, hemat serta bersahaja
Angku Hatta,
Adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam
sup kehidupanku?
Kucatat dalam puisiku,
Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu.
Tujuh windu sudah berlalu,
Aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,
Rindu pada sejumlah sifat dan nilai,
Yang kini kita rasakan hancur
bercerai-cerai,
Kesatuan sebagai bangsa,
Rasa bersama sebagai manusia Indonesia,
Ikatan sejarah dengan pengalaman derita dan
suka,
Inilah kerinduan yang luput dari sekitar
kita,
Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja,
Lurus yang tabung,
Waktu yang tepat berdentang,
Janji yang tunai,
Kalimat yang ringkas padat,
Tata hidup yang hemat,
Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta,
Pada stelan jas putih dan pantolan
putihnya,
Simbol perlawanan pada disain hedonisme
dunia,
Tidak sudi berhutang,
Kesederhanaan yang berkilau gemilang,
Kesederhanaan,
Ternyata aku tidak bisa hidup bersahaja.
Terperangkap dalam krangkeng baja materialisme,
Boros dan jauh dari hemat,
Agenda serba-bendaku ditentukan oleh merek
1000 produk impor,
Iklan televisi,
Dan gaya hidup imitasi,
Bicara ringkas,
Susah benar aku melisankan fikiran secara
padat.
Agaknya genetika Minang dalam rangkaian
kromosomku
Mendiktekan sifat bicaraku yang
berpanjang-panjang.
Angku Hatta,
Bagaimana Angku dapat bicara ringkas dan
padat?
Tertib dan apik?
Aku mngintip Angku
Pada suatu makan siang di Jalan Diponegoro,
Yang begitu tertib dan apik,
Tepat waktu.
Bung Hatta adalah teladan tepat waktu
Untuk sebuah bangsa yang selalu terlambat.
Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya
telat.
Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya
ialah
Ketika berbuka puasa.
Kelurusan dan kejujuran.
Pertahanan apa yang mesti dibangun
Didalam sebuah pribadi supaya orang bisa
selalu jujur?
Jujur dalam masalah rezeki,
Jujur kepada isteri,
Jujur kepada suami,
Jujur kepada diri sendiri,
Jujur kepada orang banyak,
Yang bernama rakyat?
Rangkat yang selalu diatas namakan itu.
Ketika kita rindu bersangatan
Kepada sepasang jas putih dan pantolan
putih itu,
Kita mohonkan kepada Tuhan,
Semoga nilali-nilai dan sifat-sifat luhur
bangsa
Yang telah hancur berantakan,
Kepada kita utuh dikembalikan.
2001
Di bacakan Pada Seminar Dan Pelatihan
Pencerdasan Karakter Generasi Penerus Bangsa
Forum Indonesia Muda 14 B
Forum Indonesia Muda 14 B
Bukittinggi, 1 Juni 2013
0 komentar:
Posting Komentar